Apa yang Seharusnya Diakukan Bila Berurusan dengan Hukum & Terbentur Penyimpangan Perilaku Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan, Hakim, Advokat) - Bagian 3

Ini adalah kelanjutan dari bagian kedua, yang belum baca bagian kedua, klik disini

C. UPAYA HUKUM YANG DISEDIAKAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab POLRI yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.

Dalam hal terjadinya suatu tindak pidana, maka lembaga kepolisian merupakan lembaga pertama yang langsung berhadapan dengan masyarakat, baik sebagai korban, saksi maupun tersangka.

Oleh karenanya jelaslah bahwa POLRI, yang merupakan salah satu simbol adanya hukum, yang mempunyai tugas utama untuk melindungi keamanan dalam negeri dan menjadi penegak hukum utama, mengalami pula derita pengabaian, tidak dihormati dan tidak dipercayai oleh masyarakat. Namun kontribusi lembaga kepolisian terhadap citra semacam ini, tidak lebih kecil daripada konstribusi penegak hukum lain serta masyarakat sendiri dalam menghasilkan situasi kekacauan hukum yang tengah kita alami sekarang. Sangatlah mudah untuk melakukan kompilasi atas laporan dalam media massa mengenai dosa-dosa polisi, baik yang sekedar dipersepsi maupun yang aktual. Harus diakui bahwa media massa memang tidak terlalu sering mengungkapkan sisi positif dari polisi, jasa-jasa mereka, sehingga akhirnya polisi menciptakan adagium bagi lembaga mereka sendiri yang dipandang masyarakat mempunyai dosa tak berampun, jasa tak terhimpun.

POLRI hingga memasuki usianya ke-64 belum sepenuhnya dipercaya masyarakat sebagai pengayom dan pelindung. Itu terjadi, karena aparat kepolisian sering menampilkan sosok yang menakutkan, terutama dalam menyelesaikan persoalan  dialami masyarakat yang selalu berbuntut pada kisah KUHP (kasih uang habis perkara).[4]

Makanya berdasarkan peng­amat POLRI, Lembaga Swa­daya Masyarakat (LSM), dan ang­gota Komisi III DPR ke­ga­galannya sebanyak 10. Se­dang­kan keberhasilannya 6 (ini sudah ter­masuk pendapat Kepala Bi­dang Penerangan Umum Hu­bu­ngan Masyarakat (Kabid Penum Hu­mas) Mabes Polri,  Ketut Untung Yoga). Ini berarti Polri dinilai rugi 4 (10 kegagalan – 6 keberhasilan = 4).

Penilaian Kementerian Negara Pen­dayagunaan Aparatur Negara (Kemenneg PAN) juga tidak ter­lalu memuaskan, yakni ranking 42 dari 74 instansi pemerintah. Penilaian kinerja ini berdasarkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) yang meliputi perencanaan ki­nerja, pengukuran kinerja, pe­la­poran kinerja, evaluasi kinerja, dan capaian kinerja.[5]

Prestasi yang buruk tersebut jelas berpengaruh pada kinerja pelayanan dan pengayoman terhadap masyarakat. Bahkan tak jarang sejumlah protes dan kritik yang muncul baik dari kalangan masyarakat, akademisi, praktisi hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat justru disikapi negatif dan aroganisme oleh beberapa oknum Kepolisian. Sehingga masyarakat dalam setiap kali bersinggungan dengan proses penegakan selalu dijadikan subyek.

Perilaku demikian sebenarnya menurut Penulis masih merupakan perilaku “warisan” HIR yang sudah turun temurun hidup mengakar mendarah daging baik di lingkungan Kepolisian, Kejaksaan, maupun Pengadilan.

Semenjak munculnya KUHAP, orientasi pemeriksaan telah dirubah dimana kedudukan tersangka dijadikan subyek pemeriksaan yang dikenal sistem Inquisitoir, pemeriksaan baik di Kepolisian maupun pemeriksaan dimuka sidang Pengadilan juga cen­derung menggunakan sistem tersebut. Dengan berlakukannya KUHAP, sistem pemeriksaan baik di Kepolisian maupun diper­sidangkan beralih ke sistem Accusatoir. Sistem Accusatoir ini berusaha menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai subyek pemeriksaan, sehingga konsekuensinya antara pemeriksa maupun yang diperiksa mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum.

Namun, Pembentuk KUHAP adalah pribadi-pribadi yang paham akan dinamika sosial, sehingga di dalam KUHAP telah disediakan sarana atau upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan hak hukum nya.

KUHAP ini mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah di dalam ketentuan materi pasal atau ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara.

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Kehakiman sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.”

KUHAP merupakan pembaharuan hukum acara pidana, yang memuat hal-hal yang belum dikenal sebelumnya dalam H.I.R., dimana salah satu tujuannya adalah meningkatkan sikap mental aparat penegak hukum.

Tujuan peningkatan pembinaan sikap para penegak hukum mutlak harus disejajarkan mengikuti tingkat pembaharuan KUHAP. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka secara umum dapat dilakukan dengan jalan antara lain sebagai berikut:

1. Meningkatkan pembinaan ketertiban aparat penegak hukum sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.

2. Peningkatan pembinaan profesionalisme.

3. Pembinaan peningkatan sikap mental.

Adapun upaya-upaya hukum tersebut antara lain, adalah:

1. Permohonan pengajuan Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau lebih dikenal dengan sebutan SP3 bila Anda yakin bahwa Anda tidak bersalah dan Anda yakin bahwa kasus anda adalah perkara perdata dan bukan pidana;

2. Permohonan pengajuan Surat Penangguhan Penahanan bila Anda merasa yakin bahwa Anda lebih pantas untuk tidak ditahan;

3. Ajukan Permohonan Praperadilan kepada Pengadilan Negeri setempat bila Anda merasa penindakan oleh instansi Penegak Hukum telah melanggar Hak Azasi Manusia Anda;

4. Perlindungan hukum terhadap korban dan saksi (tidak diatur di dalam KUHAP namun diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ttg Perlindungan Saksi Dan Korban)

5. Laporkan setiap Perilaku Menyimpang Dari Jaksa Penuntut Umum kepada Kejaksaan Agung atau kepada Komisi Kejaksaan;

6. Upaya Hukum Pihak III Terhadap Deponir Kejaksaan

7. Pelaporan dan Pengaduan Terhadap Perilaku Menyimpang Hakim

8. Ajukan Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali (PK) terhadap perkara yang Anda alami bila terdapat indikasi bahwa Hakim salah dalam menerapkan Hukum;

9. Laporkan atau ajukan Pengaduan Anda Melalui Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) POLDA atau MABES POLRI, bila terdapat oknum POLRI yang melakukan tindakan menurut Hukum adalah terlarang ;

10. Laporkan Perilaku Menyimpang Dari Pengacara/Advokat kepada institusi advokat yang menaunginya ;

11. Pahami hak-hak Anda bila anda sebagai Terpidana dan ajukan pelaporan ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia Direktorat Jendral Lembaga Pemasyarakatan bila sipir dan Ka LAPAS berprilaku menyimpang;

Anda mungkin akan mengalami kesulitan dan penderitaan bila melakukan hal-hal tersebut di atas, namun Anda tidak boleh pasrah dan berserah diri saja, Anda harus perjuangkan hak-hak Anda. Bila upaya-upaya tersebut gagal maka mengungkapkan ke media massa (koran, televisi dan lainnya) menjadi salah satu sarana yang cukup ampuh untuk menekan para oknum. Dan usahakan sebisa mungkin Anda memiliki bukti-bukti yang cukup baik saksi-saksi ataupun rekaman pembicaraan.


[1] Perlu diingat!!! Bila menggunakan Jasa Advokat/Pengacara, maka harus terlebih dahulu adalah menandatangani Surat Kuasa dari Pelapor ke Advokat/Pengacara yang dibubuhi dengan materai secukupnya. Dan pelapor harus meminta fotokopi (kalau bisa asli) dari Surat Kuasa tersebut dan fotokopi Kartu Advokat/Pengacara yang masih berlaku dan fotokopi KTP dari Advokat/Pengacara tersebut. Karena walaupun Advokat/Pengacara pada prinsipnya bernaung di dalam sebuah Law Firm atau Kantor Hukum, namun kebanyakkan mereka adalah freelance dan bukan karyawan tetap.

[2] Lihat Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Azasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (2)

[3] Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ditegaskan bahwa Advokat/Pengacara/Konsultan Hukum telah dinaikkan derajatnya menjadi bagian dari Penegak Hukum.

[4] http://matanews.com/2010/07/01/polri-masih-lekat-dengan-kisah-kuhp/

[5] http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2009/11/10/83769/Ranking-Polri-42,-Gagalnya-10


Sumber: Rocky Marbun, S.H., M.H.
Penulis Buku CERDAS & TAKTIS MENGHADAPI KASUS HUKUM
 >http://hukum.kompasiana.com/2010/11/30/apa-yang-seharusnya-anda-lakukan-bila-anda-berurusan-dengan-hukum-terbentur-penyimpangan-perilaku-penegak-hukum-polri-kejaksaan-hakim-advokat-322819.html

Comments

Popular posts from this blog

Besaran Panjang, Massa, dan Waktu

Garis Keturunan Nabi Ibrahim Sampai Nabi Muhammad

Apa itu Cybercrime ?