Apa Yang Bisa Dilakukan Bila Berurusan Dengan Hukum & Terbentur Penyimpangan Perilaku Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan, Hakim, Advokat) - Bagian 2

Ini adalah kelanjutan dari bagian pertama, yang belum baca bagian pertama, klik disini

 B. PENYIMPANGAN PERILAKU PENEGAK HUKUM

Berbicara mengenai penanganan hukum oleh aparat penegak hukum adalah merupakan topik yang selalu hangat dan menarik untuk dibahas dan ditelaah lebih jauh. Dinamika penanganan hukum menjadi sangat bervariatif dari tahun ke tahun, walaupun tidak dipungkiri ada beberapa praktek penanganan yang penyimpangannya selalu sama atau identik.

Berkaca pada penyimpangan praktek yang kerap muncul dan pelanggaran hak-hak hukum oleh pihak aparat hukum, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Advokat/Pengacara, seringkali menjadikan kegeraman dan rasa greget bagi para akademisi dan praktisi hukum.

Praktek penyimpangan yang terlalu sering terjadi dan langsung bersentuhan dengan rasa keadilan masyarakat umum adalah berada pada level Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini dapat saja dipahami walaupun tidak sepantasnya, adalah bawah tidak semua anggota Kepolisian adalah orang yang paham dan mengerti essensi akan hukum itu sendiri.

Hal tersebut dikarenakan sistem pendidikan dan pembentukan karakter berbeda dengan orang yang pernah mengikuti pendidikan kesarjanaan di bidang hukum secara murni dari awal pembentukan karakter.

Anggota Kepolisian jelas sekali masih terbawa suasana militeristik sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam bidang hukum, walaupun telah mengikuti pendidikan hukum, masih diterbelakangkan oleh nuansa militeristiknya ditambah tingkat moral yang tidak bisa terukur.

Walaupun harus kita akui secara jujur bahwa tidak semua perilaku penyimpangan tersebut menjadi suatu penyakit yang menular secara permanen, karena masih banyak terdapat pula anggota-anggota yang komitmen dengan sumpah jabatannya. Namun ibarat peribahasa: “Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga”

Kondisi man power dari aparat penegak hukum tersebut, rupanya sudah di antisipasi oleh para pembuat Undang-undang. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan kodifikasi dari hukum pidana formil yang pertama di Indonesia mengganti produk kolonial Belanda yaitu Het Herziene Indonesische Reglement, untuk selanjutnya disebut HIR.

Bahkan ada pihak yang mengatakan KUHAP adalah karya agung. Memang jika dilihat kecepatannya dalam proses sampai menjelma menjadi Undang-undang, ia merupakan karya agung.

Harus diakui, bahwa kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR/RBg, sekaligus memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum. Tak jarang kita mendengar rintihan pengalaman di masa HIR/RBg seperti penangkapan yang berkepanjangan tanpa akhir, penahanan tanpa surat perintah dan tanpa penjelasan kejahatan yang dituduhkan. Demikian juga dengan “pemerasan” pengakuan oleh pemeriksa (verbalisant).

KUHAP telah menggariskan aturan yang melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa, dengan jalan memberi perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan hukum yang tegas akan hak asasi yang melekat pada diri mereka, merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya. Juga memberi hak untuk memperoleh “bantuan hukum” pemeriksaan pengadilan. Atau pun hak untuk mengajukan permohonan penangguhan penahanan sementara selama proses penyidikan.

Namun demikian, dugaan perilaku penyimpangan masih saja terjadi, Penulis mencoba untuk menampilkan beberapa peristiwa yang Penulis temui dalam penelitian kepustakaan. Memang terdapat beberapa dugaan kuat terjadi penyimpangan pada saat kejadian tersebut terjadi, antara lain sebagai berikut:

1. Tim Barometer SCTV: Pengakuan Para Korban Salah Tangkap. 17/12/2009 03:45. Silahkan di cek secara online pada situs: http://berita.liputan6.com/progsus/200912/254879/Salah.Tangkap.Pengakuan.Para.Korban.

Turut hadir di Studio Liputan 6 SCTV, Jakarta, adalah Rizal, Kasman, Hambali, dan Kepala Bidang Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga Ana. Tak tertinggal pengamat kepolisian UI Erlangga Masdiana.

Rizal yang dianiaya lima polisi di Depok, Jawa Barat, 6 Desember silam. Ketika itu ia dalam perjalanan pulang ke rumahnya. Saat melintas dekat Depok Town Square mendadak ada yang teriak maling dan ia disergap empat orang tak dikenal. Tanpa basa basi, Rizal langsung dipukul. “Mereka lebih banyak memukul daripada berkata,” tutur Rizal.

Kasman juga dianiaya dengan cara dipukul oleh polisi. Parahnya lagi tangan korban dipaku saat diperiksa. Akibatnya, ia dirawat intensif di rumah sakit setempat lantaran tubuhnya penuh luka bekas siksaan.

Pada kesempatan itu, Kepala Bidang Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Polisi I Ketut Untung Yoga Ana meminta maaf mewakili instansinya. Ia bertekad memperbaiki kesalahan dan menindak tegas jajarannya yang ketahuan salah tangkap dan menganiaya korban. “Dia harus pertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan,” kata Yoga.

2. Polisi Salah Tangkap, Kantor Polsek Didemo. Dapat di cek secara Online pada situs: http://www.indosiar.com/patroli/66385/polisi-salah-tangkap-kantor-polsek-didemo

Ratusan warga Kelurahan Air Putih, Kecamatan Samarinda Ulu Kota Samarinda, Kalimantan Timur mendatangi kantor Polsek setempat. Mereka menuntut tiga oknum polisi yang menganiaya salah satu warga di proses secara hukum.

Diduga ketiga oknum polisi itu menganiaya seorang warga yang dituduh melakukan penipuan dengan mencatut nama Kapolsek setempat.

Beginilah keadaan korban Ibrahim (28), setelah mendapat perawatan dan menjalani visum dari rumah sakit. Korban baru saja mendapat perlakuan brutal dari seorang warga bernama Radi Adam dan tiga oknum anggota polisi pada saat ia sedang berada di Kantor Kelurahan Air Putih.

Ibrahim yang merupakan Ketua RT ini diduga menjadi korban salah tangkap atas kasus penipuan yang mencatut nama Kapolsek. Ibrahim menuturkan saat berada di Kantor Kelurahan, ia langsung diseret oleh tiga oknum anggota Polsek Samarinda Ulu didalam mobil.

Disaat itu pula secara membabi buta korban dipukuli oleh Radi Adam selaku melapor dan tiga oknum anggota polisi. Sementara itu ratusan massa dari Kelurahan Air Putih mendatangi kantor Polsek Samarinda Ulu. Mereka meminta polisi agar membebaskan Ibrahim. Mereka juga meminta Radi Adam dan tiga oknum anggota polisi yang menganiayai Ibrahim di proses sesuai hukum yang berlaku.

3. Suara Banyumas, 31 Januari 2009, Kasus Pembunuhan Siswi SMP. Polisi Dituduh Salah Tangkap, Dipraperadilankan. Dapat dicek secara Online pada situs: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/01/31/49682/Polisi-Dituduh-Salah-Tangkap-Dipraperadilankan

Orang tua DS, mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Purwokerto.

Mereka menggugat Pemerintah RI, cq Kapolri, cq Kapolda Jateng, cq Kapolwil Banyumas, cq Kapolres Banyumas yang dianggap menyalahi prosedur dalam melakukan penangkapan DS yang disangka melakukan pembunuhan dan pemerkosaan Santi Maulina.

Dalam berkas permohonan disebutkan dua belas poin yang menjadi dasar keberatan atas penangkapan tersebut, antara lain yaitu: Undang-undang tersebut menyatakan bahwa tempat tahanan anak harus dipisah dari tempat tahanan orang dewasa. Selain itu, mereka menyatakan penetapan sebagai tersangka tindak pidana pembunuhan berencara itu belum jelas. Penangkapan atas DS di Kecamatan Kedungbanteng 14 Januari lalu, juga dinilai tidak sesuai prosedur. Saat penangkapan, petugas tidak menunjukkan surat tugasnya.

Penyidik kepolisian harus mempunyai surat keputusan pengangkatan sebagai penyidik anak. Hal itu sesuai dengan Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Penyidik Anak

4. Kasus Salah Tangkap Berbuntut Panjang, Rabu, 27 Januari 2010 , 16:52:00, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=124219

Kasus ini bermula ketika Polres Kuningan mengamankan tiga warga Desa Bojong Cilimus Kec. Cilimus Kab. Kuningan atas dugaan pembunuhan terhadap Husen. Mereka yang ditangkap ialah Adi Ilyas, Mamat Rahmat, dan Enjum Jumaedi.

Ketiganya mengaku, selama menjalani pemeriksaan di Mapolres Kuningan, sejak 2 Agustus 2009 lalu, mereka kerap diintimidasi dan dianiaya penyidik agar mengaku sebagai pembunuh Husen. Padahal mereka tidak pernah melakukannya.

Bentuk intimidasinya ialah penyidik kerap menodongkan pistol kepada ketiganya, saat menjalani pemeriksaan. Ketiganya pun pernah disulut rokok agar mengakui terlibat dalam pembunuhan Husen.

Kasus dugaan salah tangkap dan penganiayaan yang dilakukan Satreskrim Polres Kuningan terhadap tiga warga Desa Cilimus Kab. Kuningan, berbuntut panjang. Pada Rabu (27/1), Kapolda Jabar Inspektur Jenderal Timur Pradopo memerintahkan anggota dari Bidang Profesi dan Pengamanan (Bid Propam) Polda Jabar segera merapat ke Polres Kuningan.

Timur memerintahkan Bid Propam memeriksa dan menyelidiki kasus dugaan salah tangkap tersebut. Hal tersebut diungkapkan Kabid Humas Polda Jabar Komisaris Besar Dade Achmad kepada wartawan, di Mapolda Jabar, Rabu (27/1).

“Kasus ini langsung ditangani Kabid Propam. Dan tadi pagi, sesuai intruksi Kapolda, beberap staf dari Bid Propam langsung menuju Polres Kuningan untuk melakukan pemeriksaan dan penyelidikan,” katanya.

Dade sangat menyayangkan jika kejadian itu benar terjadi. “Kalau itu benar terjadi, itu mencoreng nama baik institusi. Untuk itu kami akan lakukan penyelidikan terhadap para penyidiknya. Dan tidak mustahil para penyidik atau perwira yang bertanggung jawab atas kasus itu dibawa ke Mapolda Jabar untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dan kalau terbukti benar, maka oknum tersebut tentunya akan mendapat sanksi tegas,” katanya.

5. Salah Tangkap, Peneliti Sejarah Lulusan UI Dipukuli Oknum Polisi. Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.detiknews.com/read/2009/12/06/100646/1254873/10/salah-tangkap-sejarahwan-lulusan-ui-dipukuli-oknum-polisi, Minggu, 06/12/2009 10:06 WIB

Peneliti sejarah lulusan UI, JJ Rizal. Dia ditangkap 5 oknum polisi di depan Mal Depok Town Square (Detos).

Tanpa alasan yang jelas pemuda Betawi itu dikepung dan dipukuli pria berpakaian preman itu.

Peristiwa ini terjadi pada Sabtu 5 Desember, sekitar pukul 23.45 WIB. “Selama lebih dari 15 menit saya sempat dipukuli di depan Detos,” ujar Rizal melalui pesan singkat yang beredar Minggu (6/12/2009).

Direktur Komunitas Bambu ini kemudian dibawa ke Polsek Beji dan diinterogasi. Saat pemeriksaan itulah memang terbukti terjadi salah tangkap.

Selain dalam ruang lingkup pemeriksaan oleh Penyidik POLRI, penyimpangan perilaku juga terjadi pada ruang lingkup kerja dari Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dalam perkara pidana. Dari studi pustaka yang Penulis lakukan, ditemukan beberapa penyimpangan perilaku oleh Jaksa/Penuntut Umum di beberapa daerah, antara lain sebagai berikut:

1. Enam Jaksa “Nakal” Diberi Hukuman, Jumat, 23 Juli 2010 19:40 WIB, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.sripoku.com/view/41988/_enam_jaksa_nakal_diberi_hukuman

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel memberikan hukuman kepada lima jaksa yang telah melanggar dan melakukan tindakan ‘nakal’. Adapun bentuk hukuman yang diberikan adalah penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun dan penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun.

Demikian diumumkan jajaran Pejabat Kejati Sumsel saat menggelar jumpa pers dengan media massa, kemarin. Dipimpin Wakil Ketua Kejaksaan Tinggi Sumsel, I Ketut Darta, Asisten Pengawas Kejati Sumsel mengatakan berdasarkan laporan pengaduan pengawasan tahun 2010, ada 10 kasus dengan 1 yang sudah di-LHP dan 9 kasus masih klatifikasi. Adapun jaksa dan pegawai yang sudah diberikan sanksi hukuman dengan kriteria hukuman sedang antara lain AH, SH MH dengan sanksi hukuman penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun. Oknum berinisial SH, Ro, SM dan Su masing-masing mendapat sanksi yang sama yaitu penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 tahun.

2. Tujuh Jaksa Nakal Diajukan ke Majelis Kehormatan, Jum’at, 15 Januari 2010 | 14:20 WIB, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/01/15/brk,20100115-219360,id.html

TEMPO Interaktif, Jakarta - Tujuh jaksa nakal yang dipecat Kejaksaan Agung diajukan ke majelis kehormatan jaksa. Pada sidang majelis kehormantan ini mereka diberi kesempatan untuk membela diri untuk terakhir kalinya.

Jaksa Agung Muda Pengawasan Hamzah Tadja di Kejaksaan Agung, Jumat (15/1), mengaku tak hapal nama-nama ketujuh jaksa itu. Tapi dua di antaranya, kata dia, adalah jaksa Puji Raharjo dan jaksa Toto.

Jaksa Puji dihukum dua tahun penjara setelah terbukti melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dilakukan Puji terhadap istri keduanya dan anak tirinya.

Sementara Jaksa Toto terbukti terlibat kasus pemerasan terhadap pejabat Badan Pertanahan Nasional. Menurut Hamzah, Toto sempat menerima Rp 5 juta dari korban yang diperasnya.

Sebelumnya, ketujuh jaksa tersebut dipecat oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Tapi, sesuai aturan, mereka yang dijatuhi sanksi masih memiliki kesempatan membela diri dalam sidang Majelis Kehormatan Jaksa.

3. Kejagung Pecat 2 Jaksa Nakal, 12 Maret 2010, 01:32, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.primaironline.com/berita/detail.php?catid=Hukum&artid=kejagung-pecat-2-jaksa-nakal

Kejaksaan Agung (Kejagung) memecat dua jaksa karena terbukti telah melakukan berbagai pelanggaran tidak patut seperti diatur dalam kode etik jaksa.

Ketua Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ) yang juga menjabat Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel), M Amari, menyatakan kedua jaksa itu mendapatkan sanksi dipecat secara tidak hormat dan dipecat secara hormat.

Seperti diketahui, MKJ menyidangkan 12 jaksa nakal, dan enam jaksa nakal tersebut penyidangannya dipimpin langsung oleh Jamintel M Amari.

Ia mengatakan dari enam jaksa nakal yang disidangkan di MKJ tersebut, dua jaksa dipecat dan dua jaksa dicopot dari jabatan fungsionalnya.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Hamzah Tadja, menyatakan, 12 jaksa itu akan dibawa ke Majelis Kehormatan Jaksa (MKJ) untuk melakukan pembelaan.

Kebanyakan kasus 12 jaksa yang diusulkan dipecat itu terkait tindak pemerasan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penyuapan.

4. Kejati Copot Jaksa Nakal, Sabtu, 14 Agustus 2010, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.jawapos.com/metropolis/index.php?act=detail&nid=150368

Kejati Jatim akhirnya menerima jawaban atas rekomendasi yang dikirimkan kepada Kejagung soal pemeriksaan jaksa berinisial RN. Rekomendasi yang turun menyebutkan bahwa jaksa yang diduga memeras tersangka yang kini diperiksanya itu harus dicopot.

Persoalan jaksa nakal tersebut mengemuka di Kejati Jatim pada akhir Maret lalu. Jeanette Austin, seorang tersangka pelanggaran Undang-Undang Migas, mengadu ke Kejati Jatim setelah diperas seorang aparat berinisial RN. Dia mengklaim dimintai Rp 200 juta. Menurut Jeanette, setelah uang itu diberikan, dirinya dijanjikan penanganan kasus tersebut dinyatakan P-19 (berkas dikembalikan kepada polisi karena tak lengkap). Kenyataannya, berkas perkara tersebut justru P-21 (sempurna). Akhirnya, kasus itu disidangkan di PN Surabaya.

Dari seluruh rangkaian Sistem Peradilan Pidana Terpadu, posisi Hakim menjadi sangat menentukan demi terwujudnya rasa keadilan dan kepastian hukum. Hingga terdapat suatu ungkapan berisikan pengharapan terhadap Hakim. Andaikan Polisi menjadi Setan, Andaikan Jaksa menjadi Iblis, dan andaikan Pengacara/Advokad menjadi Dajjal, maka Hakim harus tetap menjadi Malaikat.

Ini adalah ungkapan pengharapan yang besar terhadap tugas dan fungsi Hakim, namun ternyata dalam praktek, dalam lingkungan peradilan, Hakim-Hakim juga mengalami penyimpangan perilaku dan pelanggaran kode etik. Adapun beberapa praktek penyimpangan perilaku tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Edisi Akhir Tahun 2009: Era Keterbukaan Penjatuhan Sanksi bagi Hakim Nakal, Minggu, 27 December 2009, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3732ae228d1/era-keterbukaan-penjatuhan-sanksi-bagi-hakim-nakal

Adalah Hakim Sudiarto yang pertama kali merasakan pahitnya sidang MKH yang berlangsung secara terbuka ini. Mantan Ketua Pengadilan Negeri Banjarmasin ini direkomendasikan untuk diberhentikan secara tetap oleh pengawasan internal MA. Ia dinilai telah melanggar kode etik hakim karena telah menerima dan/atau meminta hadiah kepada pihak lain yang akan berperkara. Sudiarto terbukti menerima hadiah dari seorang tersangka tindak pidana.

Namun, meski sidang MKH terhadap Sudiarto ini dilakukan secara terbuka, tetapi masih terasa hambar. Pasalnya, sampai dua kali sidang MKH digelar, Sudiarto tak juga menunjukan batang hidungnya. Alasan sakit yang diajukannya mungkin sudah bercampur dengan rasa malu. Maklum, Sudiarto memang hakim pertama yang ‘diadili’ secara terbuka. MKH pun dengan mudah merekomendasikan sanksi pemberhentian tetap untuk Sudiarto tanpa perlawanan sedikitpun.

Berbeda dengan Sudiarto, dua hakim bermasalah yang lain –Hakim Ari Siswanto dan Hakim Aldhytia Kurniyansa– justru berani tampil di sidang MKH. Meski sempat mengakui kesalahannya, namun keduanya juga berani membantah beberapa hal yang sempat dituduhkan. Sidang MKH pun benar-benar berfungsi sebagai forum pembelaan bagi kedua hakim yang diberi rekomendasi sanksi pemecatan itu.

Ari Siswanto adalah mantan hakim Pengadilan Negeri Rantau Prapat. Pengawas internal MA merekomendasikan Ari agar dipecat. Alasannya, karena Ari telah berkomunikasi dengan pihak yang berperkara. Sebuah tindakan yang dilarang dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim. Ari mengakui telah melakukan komunikasi, namum ia menolak tuduhan bahwa dirinya menerima sejumlah uang.

Sedangkan, Aldhytia Kurniyansa adalah mantan hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian. Ia dituduh telah meminta sejumlah uang kepada pihak yang berperkara. Ia juga telah merekomendasikan seorang pengacara yang ‘dekat’ dengan Ketua Pengadilan Tinggi Jambi kepada pihak yang berperkara. Tindakan-tindakan ini dilarang dalam kode etik dan pedoman perilaku hakim. Aldhytia juga sempat mengakui beberapa kesalahannya.

Vonis untuk kedua hakim ini pun lebih ringan dibanding yang diterima Sudiarto. Ari dinonpalukan selama 2 tahun dan Aldhytia dinonpalukan selama 20 bulan. Pangkat keduanya juga ikut diturunkan. Rekomendasi ini lebih rendah dari rekomendasi pengawasan MA dan KY yang meminta keduanya dipecat. Salah satu alasan MKH karena keduanya telah mengakui kesalahannya.

2. Sidang Perdana Hakim “Nakal” Muhtadi Asnun Digelar, Rabu, 4 Agustus 2010 - 11:19 WIB, Silahkan di cek secara online pada situs: http://news.okezone.com/read/2010/08/04/339/359474/339/sidang-perdana-hakim-nakal-muhtadi-asnun-digelar

Sidang perdana hakim “nakal” Pengadilan Negeri Tangeran Muhtadi Asnun pada hari ini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Asnun didakwa menerima uang pelicin untuk membebaskan mafia pajak Gayus Tambunan dari perkara dugaan penggelapan uang pajak senilai Rp25 miliar.

Di sidang perdananya, Asnun didampingi Alamsyah dan Farhat Abbas sebagai kuasa hukumnya, Rabu (4/8/2010).

Kasus ini mencuat setelah Komisi Yudisial (KY) menyatakan bahwa ada seorang hakim yang diduga menerima uang Rp50 juta dalam kasus Gayus.

Dalam pemeriksaan oleh KY, Asnun mengakui mendapatkan uang pelicin tersebut. Asnun mengakui menerima Rp50 juta untuk keperluan umroh.

Lembaga yang mengawasi perilaku hakim ini belum menemukan keterlibatan hakim lain yang diduga menerima aliran dana dari Gayus.

Selain melibatkan Asnun, praktik suap ini melibatkan seorang panitera berinisial I yang berperan sebagai perantara antara Gayus dengan hakim itu.

3. Hakim Nakal Dilaporkan ke MA, Sabtu, 27-Februari-2010, 07:58:09, Silahkan di cek secara online pada situs: http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52578

Mahkamah Agung (MA) mengakui telah menerima pengaduan tentang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku tiga orang hakim dari Satgas Pemberantasan Mafia Peradilan.

Badan Pengawasan MA kini tengah turun melakukan penyelidikan terhadap para pihak dan penelaahan perkara yang dipegang para hakim tersebut. “Kami memang menerima surat dari satgas, ada beberapa masalah menyangkut beberapa hakim. Sedang kami periksa dan kami tindaklanjuti apakah laporan dari satgas itu benar atau tidak,” ujar Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Andi Tumpa, Kamis (25/2) lalu.

Melihat perkembangan dinamika penegakan hukum seperti hal tersebut diatas, walaupun harus diadakan dibuktikan terlebih dahulu, memberikan kesan negatif di mata masyarakat. Dalam kaca mata sosiologi, penegakan hukum seharusnya berbanding lurus dengan rasa aman dan nyaman di dalam masyarakat.

Bila hal tersebut sudah tidak sinkron maka dikhawatirkan akan menimbulkan ekses negatif dalam permasalahan sosial lainnya, misalnya seperti masyarakat lebih suka menghakimi massal pencuri ayam dari pada menyerahkan ke Kepolisian.

Terkait dengan kondisi tersebut, maka terdapat dua akibat yang muncul dalam benak masyarakat, yaitu pertama, mencari pengetahuan untuk membentengi diri bila kejadian-kejadian tersebut di atas menimpa dirinya. Dalam tahap ini, peranan akademisi dan praktisi hukum menjadi tumpuan utama masyarakat untuk memberikan pencerahan dan solusi / jalan keluar, dan kedua, masyarakat melakukan perlawanan melalui penyimpangan perilaku (disturbing behaviour) seperti penghakiman massal tadi.

Lanjut ke bagian 3, klik disini


Sumber: Rocky Marbun, S.H., M.H.
Penulis Buku CERDAS & TAKTIS MENGHADAPI KASUS HUKUM
 >http://hukum.kompasiana.com/2010/11/30/apa-yang-seharusnya-anda-lakukan-bila-anda-berurusan-dengan-hukum-terbentur-penyimpangan-perilaku-penegak-hukum-polri-kejaksaan-hakim-advokat-322819.html

Comments

Popular posts from this blog

Besaran Panjang, Massa, dan Waktu

Garis Keturunan Nabi Ibrahim Sampai Nabi Muhammad

Apa itu Cybercrime ?