Apa Yang Bisa Dilakukan Bila Berurusan Dengan Hukum & Terbentur Penyimpangan Perilaku Penegak Hukum (Polri, Kejaksaan, Hakim, Advokat) - Bagian 1

A. PENDAHULUAN

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP dimana pada Pasal 108 KUHAP dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan Pelapor, yaitu:

“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.”

Berdasarkan definisi tersebut, maka seorang Pelapor bisa saja ia sebagai korban ataupun sebagai saksi atas suatu peristiwa tindak pidana. Maka ia berhak untuk melaporkan atau mengadukan peristiwa tersebut kepada pihak Kepolisian setempat, misalnya seperti :

1. Kepolisian Sektor (POLSEK)

2. Kepolisian Resor Jakarta Timur/Barat/Utara/Pusat/Selatan (POLRES)

3. Kepolisian Daerah (POLDA)

4. Markas Besar Kepolisian RI (MABES POLRI).

5. Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) รจ bila berkaitan dengan tindak pidana Korupsi dan Tindak Pidana Suap.

Sebelum lebih jauh dibahas, maka akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan laporan dan pengaduan (aduan). Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. (lih. Pasal 1 angka 24 KUHAP)

Artinya, seseorang dapat saja melaporkan sesuatu baik atau kemauannya sendiri ataupun atas kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh Undang-undang.

Sedangkan Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. (lih. Pasal 1 angka 25 KUHAP).

Pengertian tersebut menunjukan kepada kita bahwa bila seseorang merasa dirugikan hak hukumnya oleh orang lain, maka ia dapat mengadukan perilaku tersebut dengan disertai keinginan untuk memperoleh keadilan atau tuntutan hukum. Namun di dalam prakteknya, lebih sering digunakan istilah pelaporan, hal tersebut dikarenakan status yang disandang seseorang yang memasukkan laporan atau pengaduan lebih sering disebut Pelapor.

Dalam melakukan pelaporan atau pengaduan ke Kepolisian, dapat saja dilakukan dengan sendiri ataupun dengan di dampingi oleh Kuasa Hukum/Pengacara/Advokat.[1] Bila si Pelapor hendak melakukan pelaporan sendiri, maka Pelapor pada saat di Kepolisian akan diarahkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK). Terdapat pula pelaporan atau pengaduan hanya dilakukan oleh Kuasa Hukum/Advokat nya dengan berbekal Surat Kuasa dari Pelapor sebagai Kliennya.

Pada saat melakukan Pengaduan ke SPK Kepolisian setempat, Dalam kapasitasnya Pelapor adalah Korban, maka sebelum dibuatkan laporan Pengaduan, pihak SPK akan melakukan sesi dengar pendapat atau gelar perkara.

Apa fungsi dari Gelar Perkara tersebut? Sepanjang sepengetahuan Penulis, bahwa banyak peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi dan melukai ataupun merampas hak seseorang namun dalam ruang lingkup Hukum Perdata. Dimana perlu ditegaskan bahwa pemeriksaan di Kepolisian adalah berada dalam ruang lingkup Hukum Pidana. Sehingga untuk mengeliminir pengaduan yang bersifat Perdata yang dipaksakan masuk ke Pidana, maka diperlukan sesi dengar pendapat atau gelar perkara tersebut.

Sebagai contoh: Si A berhutang dengan si B, berdasarkan kesepakatan maka si A harus membayar hutangnya setelah satu tahun. Ternyata si A tidak menepati kesepakatan, sehingga si B menagih mulai dari teguran hingga tekanan untuk membayar. Setelah sekian lama, si A melakukan pembayaran dengan sistem cicilan atau mencicil, dimana si B tidak terima karena perjanjiannya adalah akan dibayarkan secara penuh tanpa mencicil, namun cicilan tersebut diterima pula oleh si B. Karena kesalnya, si B melakukan laporan Pengaduan ke SPK Kepolisian setempat.

Peristiwa hukum seperti di atas, yang seringkali dibawa ke ranah Hukum Pidana. Permasalahannya adalah, apakah pihak Kepolisian sepakat dengan Pelapor yang berkeinginan untuk mempidanakan si Terlapor?

Hal yang banyak terjadi adalah Pengaduan tersebut di tolak, karena bukan termasuk Hukum Pidana namun lebih ke Hukum Perdata. Maka bila kesimpulannya adalah Pengaduan dari si Pelapor adalah Hukum Perdata, yang seharusnya dilakukan adalah mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri.

Yang menarik adalah bahwa ternyata pihak Kepolisian pada prinsipnya dilarang menolak laporan ataupun pengaduan dari masyarakat.[2] Dan memang benar bahwa setiap peristiwa hukum selalu mengandung 2 (dua) sisi hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana, sehingga Bagian SPK haruslah diisi oleh Petugas-petugas yang mumpuni dan memahami sisi hukum dari setiap pelaporan yang masuk. Sehingga yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah Petugas SPK sebagai bagian layanan penerimaan Pengaduan dan Pelaporan adalah SDM yang mengerti tentang Hukum. Hal tersebut belum lagi diperparah dengan kondisi dan situasi karakter dan mental Petugas yang menjadi satu dengan kultur Kepolisian yang masih diwarnai oleh kemiliteran dahulu.

Bagaimana agar Pengaduan dari si Pelapor tersebut dapat diterima oleh SPK Kepolisian? Pelapor sebelum melakukan pengaduan ke SPK Kepolisian haruslah menyiapkan terlebih dahulu bukti-bukti. Dan harus diingat, dalam hukum pidana 1 (satu) bukti bukanlah bukti. Jadi paling sedikit Pelapor harus membawa 2 (dua) alat bukti. Pada prinsipnya adalah tugas dari Penyidik POLRI untuk mengumpulkan bukti-bukti guna melengkapi pemberkasan, dan Pelapor hanya membawa bukti awal secukupnya karena tidak semua Pelapor adalah orang yang mengerti Hukum dan tidak semua pelapor mampu membayar jasa pelayanan Advokat/Pengacara/Penasehat Hukum.

Apa sajakah alat bukti tersebut? Maka dijelaskan di dalam KUHAP pada Pasal 184, yang menyebutkan sebagai berikut:

Alat bukti yang sah ialah:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan saksi ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa.

Perlu Penulis informasikan bahwa Pelapor hendaknya membawa 2 (dua) dari alat bukti yang ada tersebut diatas. Misalnya, bila dikaitkan dengan perkara diatas, Pelapor harus membawa alat bukti Surat (bisa saja berupa surat perjanjian, bukti transfer, atau apapun yang sifatnya tertulis) dan Saksi yang menyaksikan dan melihat sendiri peristiwa hukum tersebut.

Bila Anda telah merasa lengkap memiliki bukti-bukti yang valid dan mendukung, maka Anda dapat melakukan Pelaporan dan/atau Pengaduan ke Bagian Sentara Pelayanan Kepolisian (SPK)

Sentra Pelayanan Kepolisian atau SPK adalah Petugas Kepolisian yang bertugas memberikan Pelayanan Kepolisian kepada Masyarakat yang membutuhkan antara lain :

1. Menerima segala bentuk Laporan dan Pengaduan Masyarakat.

2. Melakukan penanganan pertama Laporan/ Pengaduan Masyarakat.

3. Melayani masyarakat dalam hal permintaan bantuan tindakan Kepolisian.

4. Melayani dan membantu penyelesaian perkara ringan/ perselisihan antar warga sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan peraturan/ kebijakan dalam organisasi Polri.

Prosedur Penerimaan Laporan/ Pengaduan Masyarakat kepada Polri :

1. Masyarakat/ Pelapor dapat datang ke Kantor Polisi terdekat berdasarkan tempat kejadian perkara yang akan dilaporkan.

2. Masyarakat/ Pelapor akan diterima oleh Petugas SPK.

3. Oleh Petugas SPK masyarakat/ pelapor akan diambil keterangannya untuk dituangkan dalam format berdasarkan apa yang dilaporkan.

4. Setelah diterima laporannya masyarakat akan diberikan Surat Tanda Penerimaan Laporan.

5. Masyarakat tidak dipungut biaya apapun.

Permasalahan selanjutnya yang biasa sering ditanyakan oleh seseorang bila hendak memasukan Pengaduan, khususnya, adalah berkaitan dengan permasalahan biaya. Berapa biaya untuk melakukan Pengaduan ke SPK atau berapa biaya untuk keseluruhan hingga kesemua proses dilaksanakan sampai selesai??

Hal tersebut hingga sekarang belum bisa terjawab berapa persisnya. Namun, layaknya pengurusan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sudah diinstruksikan gratis, maka pemasukan Pengaduan pun demikian juga. Dalam kondisi-kondisi tertentu memang layak dan patut untuk di apresiasi kinerja Kepolisian dengan dana operasional yang sangat minim, namun pada prinsipnya perilaku menyimpang dalam pembiayaan Pengaduan tersebut adalah dilarang.

Yang menjadi persoalan mendasar adalah budaya hukum masyarakat yang sangat minim. Prinsip ekonomi supply and demand secara disadari atau tidak disadari, dikarenakan kondisi-kondisi tertentu, menimbulkan penyimpangan perilaku tersebut. Hal ini bukan lagi karena taraf hidupnya masih rendah atau tidak, namun sudah menjadi suatu kebiasaan karena adanya perilaku pembiaran (permisifisme) dari pihak-pihak yang lebih tinggi jabatannya.

Terkait dengan pembiayaan perkara, selain biaya pelaporan/pengaduan, maka yang sering pula muncul di dalam benak Pelapor, bila menggunakan jasa Advokat/Pengacara, berapakah Jasa Advokat/Pengacara??

Hampir semua bidang usaha Jasa memiliki tarif yang jelas dan terukur bahkan terdapat price list (daftar harga) nya. Namun, berkaitan dengan Jasa Advokat/Pengacara, hampir tidak ada biaya yang jelas dan terukur. Yang ada hanyalah kelayakan nominal yang disebutkan oleh si Advokat/Pengacara. Kecuali di beberapa Law Firm / Kantor Hukum yang Go Internasional, biasanya menggunakan rate biaya dengan US Dollar.

Ada beberapa parameter atau ukuran-ukuran yang biasanya dijadikan patokan secara wajar dalam menentukan pembiayaan pendampingan seorang Klien untuk melakukan Pelaporan/Pengaduan ke Kepolisian, yaitu antara lain;

1. Tingkat ketenaran Advokat/Pengacara ;

Pada umum nya, Advokat/Pengacara selalu menampilkan pribadi-pribadi yang terkesan mewah dan elegan. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena digunakan untuk meningkatkan image diri yang diharapkan dapat meningkatkan harga jual.

Untuk mengetahui tingkat kebonafidan seorang Advokat/Pengacara salah satu medianya adalah melalui keberadaan Kantor Hukum / Law Firm dari si Advokat/Pengacara itu berada. Media lainnya adalah melalui kelengkapan administrasi pemberkasan misalnya isi dari profile company dari Kantor Hukum / Law Firm nya tersebut.

2. Nilai nominal dari perkara yang akan dilaporkan/diadukan ;

Nilai nominal suatu perkara baik Pidana maupun Perdata, merupakan unsur yang paling utama bagi seorang Advokat/Pengacara untuk menentukan biaya operasionalnya. Biasanya operasional ditentukan berdasarkan prosentase dari nilai nominal (bila Perdata). Dalam perkara Pidana, maka parameternya adalah peristiwa hukum apa yang telah terjadi.

3. Ketersinggungan Harga Diri Pelapor ;

Selain nilai nominal suatu perkara, maka harga diri pelapor juga menjadi tolak ukur. Biasanya terjadi pada kasus-kasus Pencemaran Nama Baik dan Perbuatan Tidak Menyenangkan. Dan biasanya Pelapor adalah merupakan orang yang berpengaruh ataupun memiliki kemampuan finansial yang di atas rata-rata pada umumnya.

4. Tempat dimana laporan atau pengaduan tersebut dilaporkan/diadukan ;

Seseorang yang merasa dirugikan kepentingan hukum nya atau merasa terzalimi oleh orang lain, terkadang tidak mengetahui kemana harus melakukan Pelaporan atau Pengaduan. Ke Polsek, ke Polres, atau ke Polda atau bahkan ke Mabes Polri kah?

Dalam kasus-kasus tertentu, terutama dalam skala besar dan menyangkut kepentingan umum, biasanya langsung bisa ditangani melalui Polda, namun untuk kasus-kasus yang bersifat pribadi sebaiknya dilakukan Pelaporan dan Pengaduan melalui Polsek atau Polres saja.

Tidak semua orang mengetahui bahwa ternyata dimana kita akan melaporkan suatu kasus ke Kepolisian menimbulkan dampak peningkatan biaya operasional untuk Advokat/Pengacara nya. Walaupun sebenarnya dalam praktek, biaya pelaporan baik di Polsek, Polres, Polda ataupun Mabes Polri tidak lah ada peningkatan secara signifikan atau perbedaan yang drastis.

Namun biasanya, ada suatu penampilan kesan, bahwa semakin tinggi pelaporan dan pengaduan dilakukan, maka biasanya semakin mahal biayanya.

Anda harus memantau dengan detail tingkat komunikasi antara Advokat/Pengacara Anda dengan aparat Penegak Hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan serta Pengadilan. Karena hal tersebut menyangkut langkah-langkah apa yang akan diambil berdasarkan laporan perkembangan terakhir dari Advokat/Pengacara Anda.

Bila Anda berstatus hukum sebagai Terlapor atau Terdakwa/Tersangka, maka diharapkan seorang Advokat/Pengacara sebagai Kuasa Hukum Anda berperan aktif untuk membela hak-hak Hukum kliennya. Sehingga, melalui komunikasi yang intens antara Advokat/Pengacara dengan Penegak Hukum lainnya (Polisi dan Jaksa), maka akan menimbulkan suatu peluang atau kesempatan munculnya perilaku menyimpang diantara keduanya. Walaupun perilaku menyimpang tersebut terkadang menguntungkan Anda, namun perlu diingat setiap perilaku menyimpang pasti juga menimbulkan ekses negatif lainnya, misalnya kepentingan hukum Pihak Ketiga atau masyarakat. Dari beberapa perkembangan di dalam praktek, terkadang Kuasa Hukum seseorang seringkali melakukan kontak-kontak informal dengan Kuasa Hukum dari pihak yang berseberangan, biasanya dalam perkara perdata, hal seperti ini juga harus diwaspadai, karena mungkin saja tercipta “kompromi-kompromi” yang nampak seolah-olah menguntuntung Anda, namun ternyata justru merugikan.

Anda mungkin akan berpikir, bahwa setelah didampingi oleh seorang Advokat/Pengacara maka urusan akan ditangani oleh Advokat/Pengacara dengan baik. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan Anda kehilangan hak-hak hukum Anda, sehingga dalam setiap proses pemeriksaan Anda harus meminta dengan tegas dan jelas untuk didampingi oleh seorang Kuasa Hukum/Advokat/Pengacara. Anda harus aktif untuk meminta bantuan kepada Advokat/Pengacara yang telah menjadi kuasa hukum Anda, karena itu adalah Hak Anda.

Mengapa demikian? Karena pada saat status hukum Anda meningkat atau berubah, baik dari Terlapor menjadi Tersangka atau Tersangka menjadi Terdakwa (dalam perkara Pidana) ataupun sebagai Tergugat atau Penggugat (dalam perkara Perdata), maka akan terjadi perbedaan perlakuan dari setiap tingkatan pemeriksaan, khususnya dalam perkara Pidana.

Memang tidak ada data yang akurat dan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa terjadi diskriminasi dan penyimpangan peraturan yang diterapkan kepada orang yang bermasalah dengan hukum, namun baik berdasarkan apa yang Penulis hadapi maupun suara-suara masyarakat melalui media massa, bahwa perlakuan tidak sepantasnya masih saja terjadi hingga detik ini, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun di Pengadilan dan di instansi penegak hukum lainnya.

Oleh sebab itu, perlu Penulis sampaikan upaya-upaya hukum berkaitan dengan perilaku menyimpang para Penegak Hukum[3] (Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat/Pengacara), bilamana menimbulkan ekses negatif baik bagi Pihak Ketiga maupun kepada masyarakat secara umum.

Lanjut ke bagian 2, klik disini


Sumber: Rocky Marbun, S.H., M.H.
Penulis Buku CERDAS & TAKTIS MENGHADAPI KASUS HUKUM
 >http://hukum.kompasiana.com/2010/11/30/apa-yang-seharusnya-anda-lakukan-bila-anda-berurusan-dengan-hukum-terbentur-penyimpangan-perilaku-penegak-hukum-polri-kejaksaan-hakim-advokat-322819.html

Comments

Popular posts from this blog

Besaran Panjang, Massa, dan Waktu

Garis Keturunan Nabi Ibrahim Sampai Nabi Muhammad

Apa itu Cybercrime ?