Meluruskan Riwayat Pernikahan Siti Aisyah Ra Dengan Rasulullah

Seorang teman non muslim suatu kali bertanya, ” Akankah anda pernikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan,” Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.
Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah. Bagaimanapun penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.
Nabi merupakan manusia tauladan. Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita sebagai muslim dapat meneladaninya. Bagaimanapun kebanyakan orang di Islam, termasuk saya tidak akan berpikir untuk menikahkan saudara perempuan kita yang berumur 7 atau 9 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang walaupun tidak semuanya akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua.
Saya percaya tanpa bukti yang solidpun selain penghormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 7 atau 9 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya. Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.
Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan memuat beberapa informasi / bukti-bukti yang saya dapat.

Bukti 1: Pengujian Terhadap Sumber
Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercatat di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini. Di samping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas tidak men­ceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal di sana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua. Tehzibu’l-Tehzib adalah salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist. Menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq“
(Tehzi’bu’l-tehzi’b, Ibn Hajar Al- ‘asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu’l-ai`tidal, adalah buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

Kesimpulan: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.

Bukti 2: Turunnya Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam hadits Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda ketika Surah Al-Qamar diturunkan” (Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran (Al-Qamar) diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tersebut diturunkan pada tahun 614 M.  Jika Aisyah memulai berumah tangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, berarti Aisyah masih bayi yang baru lahir pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Padahal menurut riwayat dalam hadts Bukhari sprti yang disebut di atas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain. Jadi Aisyah telah menjadi gadis muda yang telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

Jika masih kurang jelas gambarannya sperti ini: Surat Al-Qamar turun pada tahun 614 M, pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah tahun 623 M, Sedangkan dalan hadist sahih Bukhori disebutkan bahwa Aisyah mengatakan bahwa pada saat surat Al-Qalam turun dia masih seorang gadis muda. yang artinya pada tahun 614 M dia sudah seorang gadis muda. sedangkan pernikahannya dengan Nabi pada tahun 623 M. kalau di hitung berarti sudah ada penambahan umur 9 thn pada Aisyah (gadis muda (thn 614) + 9 = 623)
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat yang menyebut pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.

Bukti 3: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah yaitu Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan memberi saran agar Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya tentang pilihan yang ada dalam pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah adalah jariyah. Bikr di sisi lain digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagai mana kita pahami kalau dalam bahasa Inggris adalah “virgin”.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata bikr (gadis), dalam hadist di atas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.”Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.

Bukti 4. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 9 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri. Ayat tersebut mengatakan
"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik." (Qs. 4:5)
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya." (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka terhadap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Di sini, ayat Qur’an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggung jawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 9 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 9 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya dari pada mengambil tugas sebagai isteri.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Qur’an. Oleh karena itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 9 tahun adalah mitos semata.

Bukti 5: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’, Al-Z.ahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]“ (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, > Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut riwayat lainya dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani,p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow). Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma adalah saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun.
Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, berarti Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), berarti Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun, sebab berselisih 10 tahun dengan Asma. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun. ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga.

Kronologi yang perlu dicatat dan di ingat: Adalah perlu untuk mencatat dan mengingat beberapa tahun penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medinah
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Berdasarkan bukti-bukti uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa, bahwa riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran karena berkontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh  tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable.

Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tersebut.

Source: islamonline

Comments

Popular posts from this blog

Besaran Panjang, Massa, dan Waktu

Garis Keturunan Nabi Ibrahim Sampai Nabi Muhammad

Apa itu Cybercrime ?